Sabtu lalu, saya dan keluarga saya, pergi ke beberapa tempat di seputaran Gunung Kidul. Niatnya hanya mengembalikan kebiasaan lama sambil menghabiskan waktu menunggu saat berbuka. Tapi apa yang saya temui sepanjang perjalanan menuju tempat-tempat itu, mau tak mau membuat saya merenung.
Saya memang orang Gunung Kidul, asli, meskipun waktu kecil pernah terobsesi ingin menjadi orang Italia (karena saya cinta sepak bola). ^_^. Bagi saya, tempat ini sudah menjadi lebih dari sekedar rumah, tempat saya singgah untuk melepas lelah.
Gunung Kidul adalah trade mark saya sejak saya memutuskan untuk sekolah di Jogja. Hinaan, cercaan dan ejek-ejekan dari orang-orang di sekitar saya, sudah terbiasa saya terima. Mulai dari teman-teman, guru, tetangga hingga tukang parkir di Malioboro, pernah mengejek “kegunung-kidulan” saya, yang memang dengan mudah bisa diketahui dari plat motor saya yang huruf terakhirnya “D”.
Sempat saya malu, tapi kenapa saya harus malu? kita toh tidak bisa memilih tempat dimana kita dilahirkan?. Lagipula, malu harusnya berkaitan dengan moral, dan dilahirkan di Gunung Kidul bukanlah sesuatu yang amoral menurut saya, jadi saya berusaha bersikap baik-baik saja. Wong ada untungnya juga. Saya jarang bayar ketika ingin membeli rujak, karena penjualnya orang Gunung Kidul. Saya sering mendapat bonus ketika membeli bakso, karena penjualnya orang Gunung Kidul juga. Lumayan. hehehehehe.
Saya mengerti kenapa Gunung Kidul memang selalu dicap ndeso, udik, kampung dan kata-kata senada yang lain. Alam tempat saya tinggal ini memang keras, jauh dari peradaban. Maka wajar kalau masyarakatnya juga (agak) jauh dari pendidikan. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja, masih banyak yang tak punya biaya. Apalagi soal teknologi dan segala ukuran modernitas, pastilah ketinggalan.
Belum soal air yang masih menjadi masalah pokok di tempat ini. Sebenarnya air itu ada, tapi cara mengambilnya yang tak ada. Air itu jauh tersimpan di dalam bumi, karena tanah kapur yang menjadi mayoritas tanah di Gunung Kidul tak kuat menampungnya di permukaan. Gunung Kidul di waktu kemarau bagai gurun. Panas, gersang, pohon-pohon Jati meranggas, dan tanah merekah dimana-mana.
Namun, di balik semua itu. Gunung Kidul sebenarnya menyimpan eksotisme tersendiri. Di daerah ini, kita bisa menemukan makanan-makanan unik, yang lumayan enak di lidah. Sebut saja belalang goreng hingga gathot dan tiwul.
Di tempat ini juga ada puluhan pantai yang cantik. Lengkap dengan koral dan ikan-ikan berwarna-warni. Bagi yang tak suka pantai bisa menikmati goa-goa, dengan sungai bawah tanah yang mengalir di dalamya. Bisa juga kita memancing di sungai, bermain-main air atau sekadar menikmati senja dari puncak bukit. Nyaman sekali rasanya.
Selain wisata alam, Gunung Kidul juga punya beragam tradisi yang cukup menarik untuk diikuti, seperti Rasulan atau pesta panen yang selalu dirayakan oleh hampir sebagian besar desa yang ada disana. Daerah sebelah tenggara Yogyakarta ini juga punya karnaval pembangunan, tempat dimana seluruh penduduk membaur dijalanan untuk nampang dan berpawai. Narsis, kalau kata anak sekarang.
Ah, bagaimanapun saya tidak menyesal dilahirkan di kota kecil ini..
Gunung Kidul akan tetap menjadi tempat pulang saya, kemanapun saya pergi, nanti..
Leave a Reply