Setiap negara, pasti punya julukan. Ada yang disebut negeri gajah putih, ada juga yang disebut negeri pagoda, atau ada juga yang mengklaim dirinya sebagai negeri seribu satu malam (atau itu hanya dongeng ya?).
Penasbihan suatu negara sebagai negeri A, negeri B atau negeri-negeri yang lain pasti disertai alasan-alasan tertentu. Baik yang rasional (karena negara yang bersangkutan memiliki icon tersebut) atau yang tidak rasional (karena ada mitos yang berkembang di negara tersbut).
Menyadari hal itu, tiba-tiba aku tertarik untuk memberi julukan baru bagi Indonesia-ku tercinta. Dulu, mungkin dia dikenal dengan Nusantara. Para kritikus ada juga yang menyebutnya sebagai Republik Mimpi. Nah, sekarang, aku akan menamainya dengan Negeri REG.
Tentunya bukan tanpa alasan..
Hampir setiap kali ketika kita menyalakan kotak televisi di depan kita, kita akan disodori dengan beraneka ragam REG. Mulai dari acara idol yang memanfaatkan REG sebagai penggalang dukungan. REG untuk membuat seseorang memajang nama kita di bagian tubuhnya. REG untuk bisa tetap fit selama puasa. REG untuk mudik. REG untuk bisa mendownload game yang kita sukai. REG untuk mengetahui doa apa yang bisa kita panjatkan hari ini. REG untuk bisa (sok) berinteraksi dengan artis yang kita puja. Hingga REG untuk mengetahui penanggalan jawa dan memastikan bahwa kita tidak salah memilih profesi atau pacar.
Ah, Indonesia, makin hari (kok) makin tidak rasional.
Fenomena ini, memang tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebut oleh Nuraini Juliastuti sebagai penciptaan budaya telepon genggam (handphone). Keberadaan Handphone, memang menjadi kebutuhan sehari-hari yang (telah menjelma) menjadi candu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kita makin tak bisa melepaskan diri dari benda yang satu itu. Kita makin merasa tidak terkoneksi ketika tidak membawa handphone. Hingga kita merasa perlu ber-sms-an ketika sedang mendengarkan ceramah di masjid (baru saja saya alami semalam ketika tarawih di masjid kampus UGM).
Joko Pinurbo, menyebut alat komunikasi yang satu ini dalam salah satu puisinya sebagai “surga kecil yang tak ingin ditinggalkan“. Ya, Joko Pinurbo benar. Handphone menjadi bagian dari hidup kita yang tak bisa kita abaikan.
Saya jadi ingat, dulu guru biologi saya sewaktu SMP pernah mengatakan, suatu saat, orang Indonesia akan mengalami perubahan fisik, terutama jari tangan, karena terlalu sering digunakan untuk memencet-mencet tombol (tombol disini merujuk pada remote control, yang tengah marak saat itu).
Waktu itu, dia menyampaikan asumsinya tersebut dengan nada bercanda. Tapi sekarang, saya kok jadi berpikir bahwa itu bisa saja terjadi, mengingat betapa banyaknya REG yang harus kita ketik setiap hari.
Ah, Indonesia..
Leave a Reply