Perkenalan saya dengan televisi dimulai sejak saya masih kecil..
Waktu itu, televisi di rumah saya berukuran 14” dan sering menayangkan tayangan favorit saya: Si Unyil dan Album Minggu Kita
Saya tidak menyadari “kedekatan hubungan” saya dengan televisi sampai tadi malam, saat saya sedang memunguti kembali kenangan-kenangan masa kecil saya, saya teringat puisi pertama saya, yang saya buat ketika saya duduk di bangku kelas 5 SD. Puisi tersebut merupakan karya yang saya “paksakan” untuk diterima sebagai tugas karya seni (karena saya tidak bisa mengukir bambu sebagaimana yang diminta guru saya, hehehehe). Saya kemudian–dengan narsisnya–memajang puisi yang telah saya bingkai tersebut di dinding kelas. Dengan seizin guru saya tentunya.
Tak banyak yang peduli, karena tak semua teman saya suka puisi. Tapi saya sadar, puisi yang berjudul “Televisi” itu–ternyata–telah banyak memetakan jalan hidup saya.
Samar-samar saya ingat, puisi tersebut berisikan keluhan-keluhan saya atas televisi. Betapa saya kesal, karena televisi hanya mempertontokan hiburan, dan tidak diimbangi dengan pendidikan. Ya, saya akui, pola pikir tersebut sangat dipengaruhi oleh didikan bapak saya, yang memang (agak) anti televisi. Maklumlah, saya masih anak-anak waktu itu. Saya serap saja apa yang dikatakan Bapak saya, yang kini harus saya amini kebenarannya.
Keluhan saya atas televisi ternyata tak banyak berkurang bahkan ketika saya beranjak dewasa. Sepertinya “hubungan” saya dengan televisi masih belum mencapai titik finalnya. Tak heran jika kemudian skripsi saya yang saya labeli Keluarga Desa Menonton Berita Bencana masih berkutat dengan televisi.
Akhir-akhir ini pun, saya kerap mengeluh tentang televisi. Makin sering membanting remote control dan menggerutu tak jelas. Tapi tetap merindukan saat-saat saya tertawa menonton Extravaganza.
Ya, sepertinya, saya juga termasuk golongan mereka-mereka yang telah menerima televisi sebagai bagian dari realitas tak terelakkan sehari-hari. Tapi saya harap, saya masih punya kesadaran dan kendali atas televisi. Karena bagaimanapun, saya tak ingin hubungan saya dengan televisi menjadi hubungan yang sarat dengan hegemoni dan dominasi.
Malu dong, masak penelitiannya saja tentang media literacy tapi saya sendiri tidak melek media?
Leave a Reply