Pagi ini..
Sewaktu saya tengah bersiap-siap untuk berangkat kerja, saya dibuat kesal oleh salah satu presenter yang tengah membawakan acara di sebuah stasiun televisi swasta. Presenter tersebut tengah mewawancarai seorang anak kecil yang akhir-akhir ini wajahnya kerap muncul di televisi. Seorang balita berambut keriting yang kalau tidak salah memerankan tokoh sebagai Seina.
Ya, si seina ini diwawancarai terkait keberadaannya sebagai artis cilik pendatang baru yang kian menambah riuh gegap gempita dunia persinetronan Indonesia. Tentu saja, Seina didampingi ibunya yang bertindak sebagai penerjemah karena Seina tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan dari si presenter.
Yang membuat saya kesal adalah cara bertanya si presenter yang sama sekali tidak menunjukkan kualifikasinya sebagai orang yang bekerja di ranah jurnalistik. Dia bahkan tidak bisa memposisikan diri tentang bagaimana seharusnya bertanya pada seorang anak kecil. Padahal, dia sendiri adalah seorang ibu. Artinya, seharusnya dia mengerti bagaimana memperlakukan seorang anak berumur tak lebih dari lima tahun.
Bagaimana saya tidak kesal?
Pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutnya adalah
“ Seina, kalau di jalan trus ketemu orang trus dicubit gitu, Seina jadi ngerasa kalau Seina itu artis ga?’
dan
“Seina senang ga jadi artis?”
Juga pertanyaan-pertanyaan lain yang senada.
Tentu saja yang ditanya (si Seina) tidak menjawab. Lha wong itu pertanyaan bodoh.
Ada banyak hal yang luput dari perhatian si presenter.
Pertama, mana paham anak sekecil itu dengan konsep artis. Bisa jadi yang dilakoninya selama ini dia anggap sebagai permainan. Bahwa lokasi sinetron dan orang-orang di dalamnya tak ubahnya semacam arena bermain, dimana dia (hanya) bersenang-senang, bukan bekerja (sebagaimana konsep artis biasa diartikan).
Kedua, kalaupun si presenter tetap gatel ingin bertanya soal di atas tadi. Mbok ya diubah dengan kalimat yang lebih mudah dicerna anak kecil. Bukan dengan pertanyaan tipikal orang dewasa seperti di atas.
Apa yang terjadi pada si presenter pagi ini menambah rentetan bukti tentang bagaimana media, sering gagal dalam menjelaskan duduk perkara sebuah peristiwa. Kebutuhan masyarakat, atas informasi, menjadi gagal dijawab, padahal itulah esensi dari kehadiran media yang sebenarnya.
Lihat saja bagaimana sebuah program bertajuk investigasi tapi tidak menginvestigasi apapun. Alih-alih menemukan fakta baru, yang ada hanya memutar-mutar ulang rekaman sebelumnya. Tak heran jika seusai menonton sebuah tayangan (bahkan yang bergenre news sekalipun) tidak sedikit dari kita yang merasa “digantung”, merasa bahwa media belum memberikan informasi apapun.
Saya memang sedang kesal, mungkin tidak hanya pada si presenter yang saya lihat pagi ini, tapi juga dengan media pada umumnya.
Ah, saya yang sok pintar, atau media-nya yang (memang) kian “menggila”?
Leave a Reply