Ketika kita melibatkan diri dalam dunia cyber, sebenarnya kita juga tengah bermain dengan tanda-tanda yang ada di dunia tersebut. Khususnya dalam mengintepretasi teks yang muncul ketika seseorang berromansa cyber. Sayangnya, setiap manusia berhak untuk menciptakan pemaknaan tersendiri terhadap pesan teks tersebut. Sehingga, pemahaman yang lahir bisa jadi sangat berlainan antara manusia satu dengan manusia lain. Lalu bagaimana kita bisa meyakini efektivitas cyberworld dalam mengonstruksi suatu peristiwa apalagi yang berkaitan dengan romansa?. Bagaimana mungkin emosi-emosi intim dapat dikirim dan sampai dengan hanya mengetikkan teks?.
Namun, seperti yang dituturkan Yayan Sopyan, manusia adalah manusia. Dia merupakan spesies yang terlalu beradab dan berbudaya untuk dikalahkan oleh kekurangan-kekurangan pada alat-alat yang dia pakai. Selalu ada cara untuk mengantisipasi kekurangan-kekurangan yang dihadapinya. Caranya adalah dengan pengubahan huruf dan tanda menjadi simbol-simbol emosi. Artinya, menciptakan bahasa dan istiadat baru dalam berkomunikasi. Semacam kode untuk mencapai kesepahaman bersama. Simbol tersebut lazim disebut emoticon dan sangat marak digunakan akhir-akhir ini bahkan diluar cyberworld. Misalnya “:)” berarti sebuah senyuman atau “:(“ berarti berwajah sedih. Emoticon sebenarnya merupakan merupakan rangkaian teks, yang dalam cara melihat tertentu (misalnya dengan memiringkan badan 90º) memberikan gambar ekspresi dan emosi orang.
Memang cara tersebut meminimalisir kesalahpahaman dalam menginterpretasi teks, kecuali untuk orang yang baru pertama kali berkomunikasi melalui internet. Namun, keberadaan simbol tersebut tidak bisa menafikkan fakta bahwa selalu ada celah untuk pemaknaan yang berbeda. Misalnya, ketika A mengirim icon “:* ?” yang berarti ciuman, kemudian B membalas dengan icon “:)”. Bisa jadi sebenarnya si B tidak benar-benar senang dicium. Dia mungkin sekedar berbasa-basi, hanya karena biasanya icon “:* ?” lazimnya dibalas dengan “:)”. Terlalu banyak kemungkinan yang terjadi disitu. Sehingga, tidaklah adil jika kita menggeneralisir setiap kemungkinan dalam menginterpretasi emosi. Dalam kehidupan nyata saja kita sering salah memaknai emosi orang apalagi dalam sebuah dunia yang tak jelas batas kejujurannya.
Bukannya saya anti internet, saya memang belum pernah melakukan romansa cyber — lebih-lebih cybersex –, tapi bukan itu masalahnya. Dalam pengeritan saya, internet khususnya romansa cyber telah memediakan sentuhan humanis manusia. Imajinasi memang dimanjakan, tapi kesadaran atas keberadaan orang lain justru ditepikan. Akibatnya, kita seperti berada dalam batasan antara ada dan tiada. Kalaupun gestur telah juga disertakan dalam IRC, tetap saja dimensi fisik tak bisa ditemukan disitu.
Romansa cyber telah memberikan wadah bagi orang untuk menemukan hati, jiwa dan ruh ‘sejati’ manusia, tanpa adanya faktor fisik dan semacamnya yang mungkin mempengaruhi pilihan kita dalam dunia nyata. Tapi apakah hati, jiwa dan ruh ‘sejati’ yang anda temukan itu benar-benar sejati atau hanya pemanis kalimat, toh tak ada yang tahu pasti. Saya masih beranggapan bahwa menulis atau membaca sebuah teks tak pernah sama persis dengan apa yang dimaksud oleh sang penulis. Pun ketika sudah dicapai kesepakatan bersama bahwa tanda seru berarti teriak atau ROFL berarti tertawa ngakak sampai berguling-guling. Karena tertawa ngakak bisa saja karena lucu banget atau karena sangat tidak lucu. Sekali lagi, terlalu banyak ketidakpastian yang bermain disana.
Akhirnya, berromansa dalam dunia cyber memang menarik untuk dibicarakan — bagi beberapa orang — mungkin menarik juga untuk dilakukan. Apapun itu, dunia virtual pastinya tak pernah sama dengan dunia nyata. Realitas semu yang Anda temui dalam ruangan sempit dengan komputer di depan Anda – menurut hemat saya – takkan pernah seistimewa kehidupan yang sebenarnya.
Leave a Reply