Masih jelas dalam ingatan saya ketika guru PPKn saya di sekolah dasar (SD) mengajarkan tentang kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Tentang kekayaan yang bak mutirara mutu manikam. Tersebar di seluruh penjuru nusantara. Kemudian guru IPS saya menjelaskan tentang letak geografis Indonesia. Tentang bagaimana negara kita ini terletak diantara dua benua, dua samudra dan dua-dua yang lain.
Waktu itu, saya dan teman-teman menyimak dengan kagum. Betapa luar biasanya bangsa yang kami miliki ini. Betapa kayanya negara yang kami diami.
Namun, pandangan itu berubah ketika Tsunami meluluhlantakkan Aceh di penghujung tahun 2004. Kemudian banjir melanda Jember pada Januari 2005. Diikuti oleh serangkaian kecelakaan transportasi, di darat, laut, maupun udara. Lalu pada suatu pagi di bulan Mei, warga DIY dan Jateng dibangunkan oleh gempa berkekuatan 5,9 SR. Beberapa hari kemudian, muncul lumpur di Sidoarjo yang meluas dan menenggelamkan desa-desa di sekitarnya. Gunung berapi pun berlomba-lomba mengeluarkan magma dari dalam perutnya.
Tiba-tiba, saya merasa tidak nyaman hidup dalam keadaan yang penuh bencana seperti sekarang ini. Tapi saya toh tak punya pilihan lain. Seperti yang sudah dijelaskan guru SD saya, Indonesia memang berada di jalur pegunungan berapi yang selalu aktif. Indonesia juga terletak di lempeng Eurasia yang selalu aktif bergerak, sehingga memunculkan potensi gempa dan tsunami. Wajar jika negara ini sangat kaya sekaligus sangat rawan bencana.
Menariknya, apa yang selama ini saya pahami sebagai bencana ternyata belum tentu sebuah bencana. Bisa jadi itu (hanya) bahaya. Bahaya tersebut menjadi bencana ketika dia diikuti dengan kerentanan atau risiko untuk manusia. Artinya, suatu keadaan dimana sebuah komunitas manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari pihak lain.
Harusnya, problem make solution dan panic create creativity. Sebuah situasi bencana semestinya diikuti dengan kesadaran dan ketanggapan.
Jika kehidupan menjadi susah karena masyarakat buta huruf, maka ada usaha untuk menjadi “melek” huruf. Jika masyarakat diresahkan oleh pemberitaan dan perilaku media, maka ada usaha untuk menjadi “melek” media. Sehingga, jika kini masyarakat digelisahkan oleh serangkaian bencana yang datang silih berganti, sudah sepantasanya ada usaha untuk menjadi “melek” bencana.
“Melek” diartikan sebagai sebuah ketanggapan dan kesiapan. Ketanggapan dan kesiapan disini berarti usaha untuk meminimalisir risiko dan kerentanan. Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa Jepang yang selalu diguncang gempa tidak memiliki permasalahan yang terlalu besar dengan bencana tersebut. Dengan gempa berkekuatan 7 SR lebih, hanya ada satu-dua korban jiwa. Bandingkan dengan yang terjadi di Indonesia, yang baru 5,9 SR saja sudah mengakibatkan ribuan jiwa melayang. Hal ini disebabkan karena negara kita, juga masyarakatnya, tidak memiliki desain tentang kesiapan dan ketanggapan dalam mengantisipasi bencana. Pendeknya, tidak “melek” bencana.
Akhirnya, saya hanya ingin menegaskan betapa pentingnya menjadi “melek” bencana dalam situasi seperti sekatang ini. Antisipasi sangat diperlukan sehingga masyarakat setidaknya memiliki pemahaman dan kesiapan atas bencana. Sebagaimana tageline yang diusung sebuah lokalatih pengurangan dan manajemen risiko bencana beberapa waktu lalu: “Disaster: Don’t Be Scared, Be Prepared”.
Leave a Reply