Budaya yang kalah tak lebar langkahnya,
Budaya yang kalah tak banyak berubah dengan menjerit dan memuji keagungannya,
Malah akan melemah,
Di saat yang membanggakan
(Arswendo Atmowiloto, 1997)
Begitulah yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto dalam novelnya yang berjudul Canting. Dalam novel tersebut, kekalahan budaya yang dia maksud adalah kekalahan budaya akibat gempuran dan arus kemajuan zaman.
Saya memang bukan seorang pemerhati budaya. Bukan juga seorang budayawan. Tapi celotehan yang saya tulis ini merupakan pemikiran atas sebuah budaya. Sebuah budaya yang bisa jadi tengah mengalami kekalahan juga -–kalau tidak bisa dikatakan bencana–yang wabahnya dibawa oleh makhluk super hebat bernama: Jakarta!.
“Makhluk” perkasa itu bernama Jakarta
Tulisan ini akan diawali dengan sebuah pertanyaan, “Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda ketika mendengar kata “Jakarta”?”. Sebagian dari Anda mungkin mengenalnya sebagai kota metropolis yang gemerlapan atau lumbung uang yang menjajikan masa depan. Tapi kalau pertanyaan itu muncul akhir-akhir ini, bisa jadi jawaban yang muncul justru kota tragis yang setiap tahunnya selalu terkena banjir.
Ya, Jakarta memang kota dengan sejuta cerita. Sebagai sebuah ibukota maupun sebagai kota itu sendiri, Jakarta selalu menghadirkan kisah cantik untuk dinikmati. Simak saja bagaimana Jakarta selalu menjadi tolok ukur atas segala hal–kemajuan, kemewahan dan kebahagiaan–sehingga menjadi tujuan urbanisasi yang paling utama . Lihat juga bagaimana masyarakatnya sendiri teralienasi dan menjelma menjadi kaum urban yang berwatak “kampungan”. Atau, mari dicermati bagaimana kota lain (baca: penghuninya) kemudian berlomba-lomba untuk menjadi “Jakarta”.
Sebagai sebuah ibu kota, Jakarta memang dipandang wah dibandingkan kota-kota lainnya. Setiap hal yang tidak ditemui di tempat lain, pasti ada di Jakarta. Ukuran-ukuran modernitas, selalu pertama kali muncul di kota yang awalnya bernama Batavia ini. Tak heran jika Jakarta memiliki kekuatan untuk mendekatkan, menarik dan menahan orang-orang tertentu untuk terpesona atau bahkan tinggal di kota itu.
Jakarta menjadi kota impian. Setiap orang ingin menjadi bagian darinya. Pengusaha, pelajar, artis atau pedangdut daerah pasti baru puas jika sudah menjajal kemampuannya di Jakarta. Jakarta adalah gudang mimpi. Terutama untuk meraih apa itu yang biasa disebut dengan istilah kesuksesan. Wajar jika angka urbanisasi sangat tinggi di kota ini. Bahkan, hampir separo lebih penduduk ibu kota adalah pendatang.
Dampak dari magnet Jakarta tersebut, bagi Jakarta sendiri, adalah kemacetan, kepadatan penduduk, tingkat kriminalitas yang tinggi dan kemiskinan. Hal ini disebabkan, keinginan pendatang untuk mengadu nasib di Jakarta tidak sebanding dengan kapasitas kota tersebut untuk menampungnya. Persaingan di kota ini kian ketat. Sehingga Jakarta—menurut Seno Gumira Ajidarma—justru tumbuh menjadi kota yang paradoksal. Di satu sisi Jakarta adalah desa yang besar, tapi di sisi lain, Jakarta adalah kota yang primitif. Watak penghuninya bergerak terus dari watak dusun ke watak urban, terkadang juga kembali lagi.
Secara fisik, Jakarta meski tidak di bawah perencanaan tata kota yang matang tetapi tetap menunjukkan ciri-ciri kota metropolis nan kosmopolit dengan gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan yang makin mewah, dan sarana transportasi massal berupa busway yang modern. Namun, di balik itu semua jangan lupa bahwa Jakarta juga menyimpan kantong-kantong pemukiman kumuh, ojek sepeda di sejumlah ruas kampung, dan pejabat-pejabat korup yang masih terus ‘bergerilya’. Jakarta memang terus berproses: dusun besar yang terus mencoba jadi kota metropolis, sekaligus area mewah yang di sudut-sudut kotanya masih sering tercium bau amis (Habibi: 2004).
Tragisnya, dampak dari urbanisasi tersebut juga merambah ke persoalan alam. Pemukiman yang didirikan tanpa memedulikan prinsip ekologis kini menuai buahnya beberapa tahun terakhir. Banjir terjadi tiap tahun, bukan hanya karena Bogor hujan lebat tapi juga karena resapan di Jakarta sendiri makin susah ditemukan dan tinggi permukaan air laut menjadi lebih tinggi dari daratan.
Tidak Jakarta berarti tidak sexy
Jakarta tak ubahnya cermin kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Setiap hal yang menyangkut Jakarta menjadi benda wajib untuk dimiliki atau paling tidak ditiru. Jika Jakarta sedang demam A, maka kota lain juga harus demam A. Jika Jakarta sedang menggemari B, maka kota lain wajib pula menggemari B.
Pola pikir yang demikian sengaja dibentuk, meski tak jelas untuk kepentingan apa. Setiap hal menjadi bertolok ukur Jakarta, dan yang ada di luar itu menjadi aeng, menjadi aneh dan pantas untuk dikesampingkan. Misalkan ketika ada pendatang di Jakarta yang kebetulan berbahasa lokal dengan medok atau punya aksen tertentu, maka akan ditertawakan seolah-olah itu merupakan bahasa dari negeri antah berantah. Bahkan tak sedikit yang merasa dirinya elit dan paling hebat karena merupakan penduduk Jakarta. Tak heran jika semua orang berlomba-lomba menjadi “Jakarta” hanya untuk memeroleh pengakuan atas eksistensi dirinya di kota tersebut. Langkah yang paling awal biasanya dengan mengubah panggilan “aku” dan “kamu” menjadi “elo” dan “gue”.
Jika fenomena ini terjadi di Jakarta, saya masih bisa memakluminya. Toh orang-orang tersebut bisa berlindung di balik pepatah lama “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” atau “Di kandang kambing mengembik, di kandang macan mengaum”. Namun, jika hal itu terjadi di luar Jakarta dan dilakukan oleh bukan orang Jakarta, saya kok tidak menganggapnya wajar. Saya khawatir, fenomena tersebut mengakibatkan sebuah tatanan budaya yang makin lepas dan tak jelas. Menciptakan sebuah dunia, yang bisa dikatakan, tidak beridentitas.
Sebuah dunia tak beridentitas
Proses berlomba menjadi Jakarta tersebut menjelaskan konsep yang disebut hibridisasi yaitu sebuah budaya yang tak jelas lagi teritorinya. Sebuah budaya yang dibawa ketempat lain (oleh orang maupun media) kemudian membaur dan mendominasi budaya yang ada di tempat tersebut.
Di Jogja misalnya. Sekitar tujuh tahun yang lalu, saya menginjakkan kaki di kota yang katanya berhati nyaman ini. Masih jelas dalam benak saya waktu itu, bagaimana teman-teman saya begitu biasa. Begitu Bhineka Tunggal Ika. Begitu Indonesia.
Namun, pandangan saya sontak berubah ketika saya menjadi mahasiswa di sebuah kampus ternama di Jogja. Kampus yang mulanya saya kenal sebagai kampus ndeso dan “lusuh” tapi memiliki kedalaman pemikiran tersebut berubah menjadi kampus metropolis yang tak bisa menghalangi saya untuk tidak melihatnya sebagai sesuatu yang banal. Sebagai sesuatu yang dangkal.
Tidak ada lagi mereka yang datang dan pergi dengan kaos oblong dan bercelana jeans belel. Tidak ada lagi diskusi-diskusi menarik tentang apa yang tengah terjadi di kampus. Yang ada hanya perbincangan mengenai merk sepatu apa yang sedang tren atau bagaimana susahnya ketika sinar matahari melunturkan bedak mereka.
Tidak ada lagi refleksi atas tulisan Marco Kusumawijaya bahwa “Di Jogja ada kepadatan yang tidak menyesakkan, kedekatan yang tidak menghimpit, kemudahan yang tidak memanjakan, keleluasaan dan kesantaian yang tidak mengabaikan krama, serta perhitungan akal yang makin memuliakan rasa“.
Jogja justru makin sesak dengan keseragaman yang masuk dan terinternalisasi secara paksa meski tanpa dia sadari. Semua yang ada di depan mata saya menjadi serupa (jika tidak boleh dikatakan persis sama). Yang perempuan memakai cardigan dan sepatu hak tinggi lengkap dengan wajah full make up—bahkan tak jarang memakai legging—. Sementara yang laki-laki bergaya rambut bak Ian Kasela atau Pasha Ungu.
Saya dan segelintir teman tiba-tiba merasa asing dengan kampus kami. Merasa teralienasi di tengah gelombang manusia-manusia “unik“ tersebut. Salah seorang teman saya menyebut keseragaman yang mewarnai masyarakat tersebut, yang menyebabkan selera menjadi dikebiri—kata Sinten Remen—sebagai sebuah bencana budaya.
Media, tentu saja berperan dalam pembentukan bencana budaya ini. Coba saja mendengarkan radio yang ada di Jogja, maka umumnya mereka akan menyapa kita dengan sapaan (sok) akrab yang khas Jakarta yaitu “Elo“ dan “Gue“.
Begitu pula dengan televisi. Hampir seluruh tayangannya sangatlah Jakarta sentris. Memang wajar, mengingat hampir semua stasiun televisi berada di Jakarta, sehingga ukuran yang digunakan televisi adalah ukuran Jakarta.
Hal ini diperparah dengan karakter televisi yang adalah sebuah media massa dalam pengertiannya yang sangat dasar, yakni permisif dan massif. Permisif dalam pengertian ia berada dalam ambang batas moral, yang selalu memiliki dalih masyarakat (yang notabene heterogen) sebagai tameng moralitasnya. Sedangkan masif dalam pengertian memproduksi dunia citraan secara serentak dan tanpa alternatif. Oleh karena itu, dampak “televisi pusat Jakarta” sangat terasa pada uniformitas selera budaya masyarakat, setidaknya lewat bahasa, ataupun life-style modernitas (Wirodono, 2006). Masyarakat kemudian diekploitasi dalam satu muka: masyarakat kota raya (baca: Jakarta).
Misal penggunaan kata “secara” yang pada Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “dengan” atau “menurut” menjadi tidak jelas pemakaiannya–misal dalam kalimat “Secara gue ini anak orang kaya gitu loh”–hanya karena dianggap keren dan sedang tren. Lihat juga bagaimana kita senang sekali membaurkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris seperti “So what gitu loh?” atau “Menurutku ini sangat precious” , juga hanya karena itu dianggap keren. Penggunaan bahasa tersebut diawali di Jakarta kemudian menjadi tren di kota-kota lainnya meskipun penggunaanya sama sekali tidak benar.
Selain itu, salah satu imbas dari karakter massif adalah lenyapnya karakter ‘diri’ akibat adanya massa. Identitas individu dalam masyarakat konsumer bukan lagi ditentukan oleh karakter sejati yang khas dan unik yang memang melekat pada diri setiap orang. Karakter tersebut adalah citra-citra yang tampil dan setiap saat bisa saja dikreasi. Citra telah menggantikan ‘diri’. Atau dengan kata lain, diri yang diakui saat ini tidak lain adalah citra itu sendiri (Habibi, 2004). Hal inilah yang menjelaskan keseragaman yang terjadi akibat setiap orang berlomba menjadi “Jakarta. Mereka sibuk dengan citra untuk menjadi Jakarta sehingga melupakan diri mereka sebenarnya yang barangkali justru bertolak belakang dengan citra “Jakarta” tersebut.
Media, selalu mengklaim situasi Jakarta sentris tersebut sebagai pemintaan pasar. Padahal, tak sedikit orang yang merindukan eksistensi mereka dalam budaya mereka sendiri. Menyadari hal ini toh tidak akan menghilangkan keuntungan media (paling hanya mengurangi) jika mau mengakomodir budaya yang tidak “Jakarta”.
Salah satu contohnya, saya ketahui dari seorang teman yang kebetulan berasal dari Papua. Kepada saya dia bercerita tentang sebuah budaya lawakan di daerahnya yang bernama Para-para Pinang. Budaya lokal tersebut diakomodasi oleh TVRI Papua, dijadikan salah satu program dan mendapatkan antusiasme luar biasa dari warga Papua. Hal serupa juga dialami oleh sebagian besar masyarakat di daerah Kuliah Kerja Nyata saya. Tepatnya di Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Itsimewa Yogyakarta. Masyarakat di desa tersebut selalu menantikan acara Klinong-klinong Campursari yang ada di Jogja TV dan tidak memaksa diri untuk memakai cardigan ketika pergi ke sawah.
Memang, terlalu naif untuk mengharapkan bahwa siaran radio dan televisi di Jogja akan serba menggunakan Bahasa Jawa. Kalau begitu yang lahir justru Jawa sentris, dan bisa jadi justru menjadi tidak pas maksud dan niatannya. Saya juga tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika siaran radio di dominasi dengan kata “kowe” dan “aku”. Saya juga tidak mengritisi mereka-mereka yang beauty concern dan senang tampil cantik. Setiap wanita toh memang ingin tampil cantik. Tapi kita mungkin bisa memikirkan tempat atau situasi yang pas ketika ingin mengenakan baju atau pakaian tertentu. Atau paling tidak, kita bisa mempunyai alasan khusus—yang mendasar—ketika memilih untuk bersikap. Karena 9 dari 10 orang yang saya tanyai mengapa berpenampilan seperti itu menjawab dengan bangga, “Karena lagi tren tuh, di sinetron Cinderella juga ada” atau “Soalnya, kemarin aku liat si Maia pake ini”.
Setiap hal memang tidak selalu harus punya alasan. Tapi saya hanya mengharapkan adanya sebuah heterogenitas. Sesuatu yang tidak serba Jakarta. Sesuatu yang memberi saya alternatif pilihan yang lain. Atau barangkali, ini hanya refleksi atas sikap sinis dan ketidakmampuan saya untuk bisa menjadi “Jakarta”?.
Ah, semoga bukan karena itu.
Leave a Reply