“Kendaraan” Baru Itu Bernama Media

Jika partai politik (parpol) diibaratkan sebuah kereta executive, dengan jadwal keberangkatan dan kedatangan yang teratur dan dapat diprediksi, maka media massa tak ubahnya pesawat jet yang super cepat, yang bisa mengantarkan Anda sampai di tujuan bahkan sebelum Anda sempat duduk.

Tak berlebihan rasanya, jika Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi menyebutkan bahwa peran media massa lebih besar dibandingkan partai politik. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa siapa yang bisa menguasai media, dia menguasai dunia. Kekuatan media massa, memang telah lama disadari bukan hanya oleh Hasyim Muzadi sendiri. Entah sejak kapan, media massa diposisikan sebagai kekuatan yang super besar. Terutama terkait dengan pengaruh (efek)nya terhadap khalayak. Sudah berapa saja studi dan penelitian yang membahas kekuatan media dalam memengaruhi dan membentuk opini, karakter atau bahkan selera publik. Hal ini menegaskan bahwa media massa memang memiliki kekuatan yang luar biasa.

Media massa, berada di sisi lain dari tarik menarik dua kekuatan besar yaitu kekuasaan pasar yang berorientasi ekonomi dan kekuasaan negara yang berorientasi politik. Idealnya, media massa memberikan alternatif pemikiran yang mengawasi sekaligus menjamin “kebebasan” publik dari kemungkinan adanya dominasi atau hegemoni yang dilakukan oleh kekuasaan-kekuasaan tersebut. Dia, menjalankan fungsi yang biasa disebut sebagai watch dog, atau anjing penjaga. Mengawasi berjalannya dua kekuasaan tersebut dalam sebuah public sphere (ruang publik).

Fungsi lain dari media massa adalah menyampaikan informasi. Sementara informasi sendiri adalah segala hal yang mengurangi tingkat ketidakpastian. Informasi membuat orang memilih dan memutuskan sesuatu. Kita membutuhkan informasi untuk menjalani hidup, untuk melindungi diri, menjalin ikatan satu sama lain, mengenali teman dan musuh. Jurnalisme tak lain adalah sistem yang dilahirkan masyarakat untuk memasok informasi, dalam wujudnya yang berupa berita. Inilah alasan mengapa kita peduli terhadap karakter informasi dan jurnalisme yang kita dapatkan: mereka memengaruhi kualitas hidup kita, pikiran kita dan budaya kita (Kovach&Rosenstiel: 2003).

Namun, jenis informasi seperti apa yang akan lahir jika media massa tidak lagi memberi alternatif pemikiran?. Bagaimana jika dia tidak bisa membebaskan diri dari kekuasaan-kekuasaan besar tadi?. Dalam ranah politik misalnya, media massa justru menjelma menjadi “kendaraan” baru untuk meraih popularitas, menggalang konstituen (orang-orang yang percaya dan mendukung) dan membentuk opini publik. Semua aktor politik kemudian berlomba-lomba membuat media. Akibatnya, media massa menjadi tidak independen, menjadi tidak “bebas untuk” (freedom for) menyampaikan kritik terhadap sebuah kekuatan politik dan “bebas dari” (freedom from) ideologi atau kepentingan-kepentingan politik tertentu. Informasi yang dihasilkan media massa pun menjadi tidak murni, tidak objektif, tidak berpihak pada kebenaran. Dia menjadi berat sebelah. Informasi yang seharusnya diterapkan secara jujur, lepas dari kepentingan, pada akhirnya harus tunduk pada kepentingan itu sendiri. Logikanya, bagaimana media massa bisa mengritisi dominasi dan hegemoni yang dilakukan oleh seorang aktor politik jika dialah pemilik media yang bersangkutan?. Bagaimana informasi yang disajikan bisa objektif, jika yang ada hanya ada gelora untuk menyebarkan paham-paham politik tertentu melalui kampanye?.

Untuk meraih popularitas, menanamkan nilai-nilai dan meraih dukungan, tentu saja media massa menjadi pilihan yang amat efektif. Bagaimana tidak, media massa memiliki kemampuan untuk menyapa khalayak secara personal sekaligus secara komunal. Media massa mampu hadir dalam keseharian, berinteraksi dengan khalayak secara taken for granted dan membuat orang menerima, menyerap dan mengamini suatu informasi tanpa khalayak tersebut menyadarinya. Maka tak mengherankan jika di negara yang (barangkali) belum memahami inti bermedia ini, kekuatan media massa justru dimanfaatkan oleh dan untuk kepentingan tertentu.

Kiranya, pertanyaan yang muncul kini bukan lagi “Apakah media massa lebih besar peranannya daripada parpol?”, melainkan “Apakah media massa (masih) bisa dibedakan dari parpol?”.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

A WordPress.com Website.

%d bloggers like this: