“Hati nurani adalah satu-satunya cermin yang tidak merayu dan membohong. Kita bisa berusaha untuk merusak dan menyuramkan sinarnya, tapi dia tetap bicara sebebas-bebasnya sekaligus menghukum kita” (Seno Subro).
Etika harusnya dimaknai sebagai sesuatu yang dapat difungsikan untuk membantu manusia menjadi lebih otonom. Otonom disini bukan terletak dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama dengan kesewenang-wenangan, melainkan tercapai dalam kebebasan untuk menjalani norma-norma yang diyakininya sendiri sebagai kewajibannya (Siregar, 1993:111 mengutip dari Von Magnis, 1979). Namun, dalam prakteknya, sering terjadi sesat pikir atau fallacy kalau dalam dasar-dasar logika dari media-media yang ada di Indonesia. Taruhlah persoalan Maria Eva–atau biasa disingkat ME di media massa–dengan Yahya Zaini–yang juga lebih sering disingkat YZ–sebagai contoh. Perlu diketahui, Maria Eva adalah salah seorang penyanyi dangdut dari Sidorarjo yang mencoba mengadu nasib di Jakarta dan baru menghasilkan satu album solo serta satu album kompilasi. Sementara Yahya Zaini adalah seorang sekertaris DPP Partai Golkar.
Dalam hal ini, untuk mengetahui bagaimana etika seharusnya berperan atau diberlakukan oleh media, perlu adanya perincian terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait dengannya yang antara lain: informasi publik; hak publik; dan etika media itu sendiri.
Informasi publik adalah segala sesuatu yang bermuatan informasi tentang hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung menyangkut kepentingan publik dimana kepemilikannya menjadi milik publik dan publik berhak tahu atas hal tersebut. Sedangkan hak publik terkait dengan segala hal yang berhubungan dengan aktivitas memperoleh dan/atau memberikan informasi dari dan/atau untuk media. Etika media, sesuai pengertian Von Magnis diatas, berarti etika seharusnya bisa mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan rasional, untuk membentuk pendapatnya sendiri, dan bertindak sesuai dengan apa yang dapat dipertanggungjawabkannya sendiri.
Dari pengertian-pengertian tersebut, kita bisa melihat bahwa kasus Maria Eva dan Yahya Zaini tidak substansial jika dilihat secara media. Meskipun pelakunya bisa dianggap sebagai publik figur, tapi apa yang terjadi dalam rekaman video berdurasi 42 detik yang mempertontonkan adegan ranjang tersebut bukan merupakan informasi publik. Dalam kajian hukum atau etika media, sebenarnya yang ada bukan informasi publik atau informasi privat melainkan ranah publik atau ranah privat. Semua hal yang ada di ranah publik menjadi informasi publik dan ada hak publik untuk tahu. Sedangkan semua hal yang ada di ranah privat tidak ada hak publik untuk tahu. Nah, dalam kasus ini, video 42 detik tesebut bergerak dalam ranah privat.
Sayangnya, banyak sekali sesat pikir yang mewarnai media kita terkait dengan permasalahan ini. Pertama, secara hukum media, media-media di Indonesia khususnya televisi tidak memegang prinsip asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Televisi berulang-ulang memutar tayangan atau adegan 42 detik tersebut tanpa berusaha menyembunyikan identitas pelaku. Mereka (televisi) justru secara terang-terangan menyorot bagian muka dari dua orang tersebut dan hanya menutupi bagian-bagian yang secara moral dianggap tidak pantas (meski ukuran moralitas di sini juga masih perlu dipertanyakan) .
Padahal, yang seharusnya menjadi fokus dari media bukan isi (content) dari video tersebut. Apapun yang terjadi dalam kurun waktu 42 detik itu pada dasarnya merupakan urusan polisi. Hal ini terkait dengan lima tuntutan yang kemudian ditujukan keada Maria Eva. Yaitu: 1. Memproduksi dan mempublikasikan aktivitas privat kepada publik; 2. Disinyalir bekerja sama dalam usaha pencemaran nama baik; 3. Sendiri ataupun berkomplot untuk menyebarkan fitnah; 4. Kasus Aborsi; dan 5. Teror
Media kita sibuk bergerak pada “apa” bukan pada “bagaimana” mengemas informasi tersebut. Artinya, sekalipun aktivitas privat tersebut melibatkan publik figur, yang seharusnya diekspose oleh media bukan “hal”nya melainkan apa yang terjadi (what next) dengan si publik figur itu sendiri. Dalam hal ini berarti mundurnya Yahya Zaini dari jabatannya sebagai anggota DPR.
Isi video yang 42 detik tersebut sebenarnya baru merupakan sumber informasi, informasinya sendiri adalah keterkaitan publik figur di dalamnya. Yang kebetulan satu diantaranya adalah anggota Partai yang sudah “mapan” di kancah perpolitikan Indonesia yaitu Partai Golkar. Kenapa dari sisi ini publik perlu tahu, karena ini merupakan ranah publik dimana motif-motif bermain disitu dan bergerak pada tatanan politik praktis.
Dalam persoalan ini media harusnya tidak melupakan satu jargon utamanya yaitu skeptis. Artinya, bukan sibuk membahas isi video yang bisa jadi belum tentu benar atau kalaupun benar, bisa jadi Yahya Zaini hanya kejatuhan sial karena–mengutip kata-kata Permadi–banyak anggota dewan yang melakukan hal yang sama dengan Yahya Zaini. Jadi persoalannya bukan isi video yang diputar berulang-ulang tapi lebih mengarah pada kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi pasca mundurnya Yahya Zaini.
Dalam persoalan ini, memang tidak ada keterkaitan langsung antara persoalan bahwa Maria Eva adalah simpanan Yahya Zaini dengan kemungkinan bahwa dia dihidupi dengan uang yang berasal dari—siapa tahu—gaji Yahya Zaini yang mungkin saja berasal dari pajak yang dibayarkan rakyat. Dengan kasus tersebut, Yahya Zaini bisa kehilangan konstituennya (orang-orang yang percaya dan mendukung). Itu yang seharusnya dibahas media. Bukan hal lain. Mungkin memang terkesan ‘dibuat-buat” tapi publik perlu tahu kemungkinan-kemungkinan “liar” tersebut agar bisa mendiskusikan dan merumuskan bagaiman mereka seharusnya bersikap.
Persoalan bagaimana media beretika terkadang memang menjadi bias dan absurd. Hal ini dikarenakan etika bersumber dari hati nurani. Sementara etika tidak berbanding lurus dengan moralitas. Kalau sebuah artikel di surat kabar menyebutkan bahwa kita masih belajar bertelevisi, maka saya mau mengatakan, bisa jadi, kita baru belajar bermedia.
Leave a Reply