*Dimuat di Majalah Kartini Edisi November 2018 – Januari 2019

Gambar dipinjam dari sini

Klub LDR mengadakan pertemuan darurat. Setelah berminggu-minggu vakum dan hanya dihadiri sebagian anggota, Klub LDR akan berkumpul lagi dalam formasi nyaris lengkap. Kami berempat: aku, Rum, Bu Kas dan Mbak Im telah sepakat bahwa kami akan terus bertemu meski Tik sudah meninggalkan grup WhatsApp dan tak pernah datang pertemuan Klub LDR lagi. Malahan, kami akan berusaha membujuk Tik untuk kembali. Itulah agenda Klub LDR hari ini sebenarnya.

Aku sendiri memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan Yan maupun dengan Bas. Aku butuh waktu untuk sendiri. Benar-benar sendiri. Aku ingin merasa yakin dengan apa yang benar-benar kurasakan dan kuinginkan. Mengambil jeda adalah solusi yang paling tepat menurutku.

Aku menyampaikan hal itu ke Yan sebelum dia kembali ke Stockholm. Dia hanya mengangguk paham dan mengusap-usap rambutku lembut. Kami berpelukan lama. Sebuah pelukan yang merangkum banyak hal. Ada sedih sekaligus lega yang kurasakan saat Yan melambaikan tangannya dari balik kaca ruang keberangkatan bandara.

Sementara Bas, aku harus mengakui bahwa apa yang kurasakan padanya hanyalah sensasi semu. Hanya kenyamanan karena bisa mendapatkan perhatian secara intens dan dekat. Aku tak yakin itu cinta. Dan aku tak ingin melukai Bas dengan memberi dia harapan bahwa aku akan pernah merasakan hal yang sama. Untungnya Bas sangat mengerti. Dan hari itu kami mensahkan persahabatan kami dengan bersalaman.

“Berteman?” tanyaku.

“Berteman!” jawab Bas yakin.

Lalu bagaimana dengan posisiku sebagai ketua klub LDR? Aku kan bahkan tidak sedang in relationship. Bagaimana aku bisa tetap menjadi ketua klub? Atas saran Rum, posisi ketua tetap di aku karena pada dasarnya aku juga masih dalam LDR sekarang.

“Maksudmu,  Rum?” tanyaku saat itu.

“Ya kan jodohmu belum ketahuan. Masih entah di mana. Long distance juga kan?” jawab Rum asal.

Kami semua tergelak mendengar jawaban Rum, tapi menerima alasan konyolnya itu. Jadi aku, Vanessa, tetaplah ketua Klub LDR.

Beberapa hari setelah pertemuan darurat Klub LDR, Rum berhasil menemukan di mana Tik tinggal sekarang. Ternyata Tik kembali ke rumah orang tuanya di Tangerang selama proses perceraian dengan suaminya. Maka sore itu kami mengunjungi satu rumah di Kawasan Serpong.

Seorang asisten rumah tangga mempersilahkan kami masuk setelah Rum bertanya apakah Tik ada di sana dan dijawab dengan “ya”. Kami diminta menunggu di ruang tamu. Begitu Tik keluar, Rum langsung memeluknya sementara Bu Kas menghela nafas lega. Hal yang sama juga dilakukan Mbak Im. Mataku berkaca-kaca. Tik tampak lebih kurus dari beberapa waktu yang lalu, tapi nyala di dalam matanya tetap di sana. Tak ada yang berubah.

Tik lalu duduk dan menjawab bahwa dia baik-baik saja saat ditanya kabarnya oleh bu Kas. Proses perceraian tetap berjalan. Tapi dia yakin itu adalah yang terbaik untuk dia dan suaminya.

“Kamu benar baik-baik saja?” timpalku, mengulang pertanyaan Tik padaku dulu.

Wajah Tik mengarah ke arahku. Kami saling menatap untuk sepersekian detik. Seolah berusaha memahami pikiran masing-masing. Lalu kami berduapun tergelak mengingat momen di Klub LDR waktu itu. Rum tampak tak paham dengan apa yang kami bicarakan. Begitu juga dengan Bu Kas dan Mbak Im.

Sorry ya, Tik. Aku enggak pernah benar-benar meluangkan waktu untukmu dan teman-teman yang lain. Maafkan aku karena sudah bersikap egois,” tambahku kemudian.

 “Maafin aku juga karena terlalu terbawa emosi waktu itu. Klub bodoh ini ada gunanya kok,” katanya.

 “Jadi, apa aku masih boleh bergabung klub ini bu ketua?” tambah Tik menggodaku.

“Hmm. Sebagai ketua aku menyatakan kamu, Artika, sebagai the honorary member dari klub LDR, sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” jawabku sambil tersenyum lebar.

Tik ikut tersenyum dan memelukku.

“Awwwwww, group huggggg” kata Rum sambil langsung mendorong kami semua berpelukan.

Kami berlima duduk melingkar di sudut Simply Coffee favorit kami. Tangan kami mengenggam cangkir kopi masing-masing. Mata kami menerawang, sibuk dengan pikiran kami sendiri-sendiri. Aku tidak tahu persis apa yang dipikirkan Mbak Im, Tik, Rum dan Bu Kas. Aku hanya tahu bahwa pikiranku saat ini tidak bisa lari dari kebenaran kata-kata Mbak Im tempo hari: “Ya memang berat mbak, tapi kata orang tua, garwa itu sigaraning nyawa. Belahan jiwa. Masak untuk belahan jiwa kita enggak mau berjuang?”

Sepulang dari rumah orang tua Tik waktu itu, aku memang sengaja duduk di samping Mbak Im untuk mengobrol tentang LDRnya. Dan begitulah jawaban mbak Im ketika kutanya soal beratkah menjalani LDR setelah bertahun-tahun. Aku tertegun saat mendengar jawaban mbak Im. Di balik sikap sederhananya, mbak Im ternyata menyimpan kebijakan-kebijakan yang luar biasa.

Tanpa perlu berteriak-teriak soal gender dan feminisme, Mbak Im dan suami sudah melakukan itu ketika memutuskan “bertukar” posisi bekerja. Tanpa perlu konsultasi dengan para ahli relasi, Mbak Im dan suami sudah membuktikan bahwa hubungan LDRpun bisa dijalani dengan utuh dan membahagiakan. Dan yang lebih mengejutkanku adalah jawaban Mbak Im ketika kutanya soal perasaannya.

“Mbak Im, dari mana mbak Im yakin kalau suami mbak Im itu belahan jiwanya mbak Im?”

Mbak Im tak langsung menjawab pertanyaanku. Dia tampak berusaha merumuskan kata-kata yang pas. Setelah beberapa menit, mbak Im akhirnya berkata:

“Soalnya, setiap melihat bapaknya anak-anak, di mana pun itu, saya merasa pulang, Mbak.”

Detik itu, aku tak sanggup bertanya-tanya lagi.

Itu adalah kejadian hampir tiga bulan yang lalu. Aku mencamkan kalimat mbak Im baik-baik di kepalaku. Siapapun belahan jiwaku, he must be my home, seseorang yang membuatku merasa pulang.

Hari ini, ada rapat penting dalam pertemuan Klub LDR. Rum akan menikah dengan Dev, pacarnya. Kami kebagian peran menjadi bridesmaid bersama dua sahabatnya yang lain. Seperti yang sudah diduga, Rum heboh luar biasa dengan pernikahannya yang akan berlangsung enam bulan lagi itu. Aku senang melihat Rum begitu bersemangat. Minimal meskipun Tik dan aku gagal mempertahankan LDR kami, Rum berhasil melaluinya dengan baik.

Segala persiapan pernikahan Rum terasa begitu menyita waktu sampai-sampai aku tak lagi ingat urusan Bas dan Yan. Ternyata, I’m doing fine just by myself. Atau setidaknya begitulah menurutku. Lalu hari yang ditunggu pun datang juga. Pesta pernikahan Rum berlangsung meriah. Saat itulah aku melihat sosok yang familiar di barisan groomsmen. Aku melangkah mendekat ke arahnya.

“Yan?” laki-laki berjas biru itu menoleh.

“Nes?” Yan tampak terkejut melihatku.

“Oh, jadi Arumi itu Rum?” tambah Yan.

Aku mengangguk. Rupanya, salah satu groomsmen Dev adalah Yan. Rum memang pernah menyebut bahwa salah satu groomsmennya Dev adalah sahabat masa kecilnya yang sudah lama tidak bertemu. Rum sendiri belum pernah bertemu dengan teman kecil Dev itu. Tapi aku tak menyangka orang itu adalah Yan.

Melihat Yan lagi setelah berbulan-bulan, dadaku sesak dipenuhi kenangan-kenangan. Yan masih memiliki pandangan itu. Pandangan yang meneduhkan. Seketika aku seperti memahami apa yang disampaikan Mbak Im. Aku merasa menemukan rumahku kembali. Aku merasa pulang. Benarkah Yan adalah belahan jiwaku? Tapi bagaimana dengan LDR? Sanggupkah aku berjauhan lagi?

Kami lalu melangkah menjauh dari keramaian. Ada banyak hal yang ingin kuobrolkan dengan Yan.

“Apa kabar? Kok kamu bisa ada di sini?” tanyaku penasaran.

“Iya, aku diminta jadi groomsmannya Dev. Terus kebetulan, aku lagi fieldwork di Singapore, jadi sekalian,” jawab Yan.

“Oh, berapa lama?” nada suaraku terdengar terlalu berharap.

“Enam bulan,” jawab Yan.

Lalu ada jeda yang terasa janggal di antara kami. Seolah masing-masing dari kami ingin menyampaikan sesuatu tapi tak bisa.

“Gimana kabar Ann?” tanyaku kemudian.

Yan tampak kaget mendengar pertanyaanku. Tapi lalu menjawab:

“Baik. Program S3nya akan selesai dalam tiga bulan ini,” jawabnya.

“Bagaimana dengan Bas?” Yan bertanya balik.

“Baik. Masih ngurusin Simply Coffee,” jawabku.

Tiba-tiba kami mendengar namaku dipanggil.

“Nes, ayo sini. Sesi foto nih,” seru Tik dari kejauhan.

Aku mengangguk pada Tik dan menoleh ke arah Yan.

“Yuk,” ajakku.

Yan mengangguk. Saat aku baru berjalan beberapa langkah, Yan tiba-tiba menyeletuk:

“Aku tak ada hubungan apa-apa dengan Ann kalau itu maksudmu.”

Diam-diam, aku menghela nafas lega lalu menoleh.

“Aku juga tak ada hubungan apa-apa dengan Bas kalau itu maksudmu,” jawabku.

Yan tersenyum lalu mengulurkan lengannya. Saat menyambut uluran tangan Yan itulah, aku sadar, dalam berhubungan, kita tidak perlu resep khusus. Kita hanya perlu orang-orang yang tepat untuk menjalani hubungan itu bersama-sama. Karena pada akhirnya hubungan bukanlah tentang jarak, hubungan adalah tentang fondasi. Dan aku ingin mencoba lagi dengan Yan. Aku ingin menata ulang hubungan ini bersama Yan.

“Nes …” panggil Yan tiba-tiba.

“Ya?”

“Kamu tahu? Ke manapun aku pergi, hanya di dekatmu aku merasa pulang,” ucapnya.

Langkahku terhenti.

The feeling is mutual,” kataku sambil menatap ke dalam mata Yan.

Kami saling bertatapan lama. Saling mencoba memahami apa yang tidak bisa kami sampaikan dengan kata-kata. Lalu tiba-tiba sebuah lengan menarikku dari Yan.

“Duh ini bu Ketua malah pacaran aja. Yuk ah, si Rum udah sewot tuh,” kata Tik.

“Pinjem Nes sebentar ya Yan. Ntar habis ini boleh dimiliki seutuhnya deh,” tambah Tik.

Aku tertawa mendengar olok-olok Tik. Begitu juga dengan Yan. Lalu kami berdua pun bergegas ke arah Rum yang sudah manyun karena ingin segera foto bersama.

“Nih, bu Ketua Klub LDR sudah datang. Yuk foto,” ajak Tik.

“Ke mana aja sih, Nes? Gerah tahu nunggunya,” omel Rum.

“Orang dia malah pacaran sama salah satu groomsman,” kata Tik.

What? Gerak cepat juga kamu Nes?” kata Rum.

“Sama yang mana, Nes?” bu Kas penasaran.

“Sama Yan lah siapa lagi?”

“Lhoh kok Yan ada di sini? Emang salah satu groomsmen kamu Yan, sayang?” tanya Rum polos.

“Yan? Ardiyan maksudmu? Iya itu teman kecilku yang kuceritain waktu itu,” jawab Dev.

Rum hanya melongo. Tik menggeleng-gelengkan kepala sementara Bu Kas mengelus dada seperti terharu. Mata Mbak Im juga tampak berkaca-kaca bahagia.

“Udah ah kok jadi ngebahas aku sih. Jadi foto enggak nih?” protesku.

“Jadi dong. Klub LDR say cheese,” teriak Rum.

Dan kami berlimapun tertawa bahagia.

– Tamat –

Leave a comment

The author

Hayu Hamemayu is a word bender, whose work has appeared in The Conversation Indonesia, The Jakarta Post, Media Indonesia, Kompas, Majalah Kartini, Indonesia Travel Magazine, and The Newbie Guide to Sweden among others.