*dimuat di Majalah Kartini edisi Maret – April 2018

Tak seperti orang Indonesia pada umumnya yang memuja musim panas dan matahari, aku begitu memuja musim dingin. Terutama saat-saat ketika salju turun dan membentuk hamparan karpet putih sejauh mata memandang. Aku tak bisa tidak jatuh cinta. Salju telah menjelma irama batin yang kurindu saban waktu. Salju tak ubahnya penanda kebahagiaan untukku. Mungkin karena salju memunculkan perasaan romantis. Mungkin karena musim dingin seperti lagu sendu yang tak bosan kuputar berulang-ulang.

Mungkin juga karena salju menjadi saksi kencan pertama kita setahun lalu. Kencan pertama penuh drama karena diawali dengan serangkaian proses panjang yang tidak mudah. Satu kencan di mana kita duduk berdua, bergenggaman tangan, melihat salju turun pelan-pelan dari balik kaca jendela. Atau mungkin karena kamu pernah berjanji, bahwa ketika salju mulai menebal tahun ini, kita akan merayakan setahun kebersamaan kita dengan melihat aurora, salah satu fenomena alam yang paling ingin kulihat dalam hidupku. Dan kamu tahu persis akan hal itu.

Sayangnya, salju turun sedikit terlambat tahun ini. Biasanya, di awal-awal November salju sudah mulai turun. Sedikit. Lalu menebal di bulan Desember dan Januari. Tapi tahun ini, Desember sudah mau habis dan salju masih turun malu-malu. Hanya satu dua, itupun segera meleleh dan tak bertahan lama. Jangankan karpet putih sejauh mata memandang, serpihan-serpihan salju di ranting-ranting pohonpun tak tampak di depanku. Orang bilang ini semua karena perubahan iklim. Karena pergeseran musim akibat bumi yang semakin panas. Aku percaya mereka benar. Tapi selain itu, secara pribadi, aku merasa salju terlambat turun karena menunggumu. Entah mengapa aku yakin, apapun yang membuat salju tak kunjung menebal akhir-akhir ini, salah satunya pasti karena kamu.

Iya, kamu.

Kamu yang belakangan tak pernah hadir di hari-hariku. Kamu yang sibuk dengan duniamu yang baru. Dunia baru yang kamu awali kemarin sore, saat aku duduk menunggumu berteman secangkir kopi susu dan sepotong pie rasa apel. Hari itu, setelah berhari-hari kita tak meluangkan waktu bersama, kamu bilang ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang menjelaskan mengapa belakangan ini kita jarang bertemu. Sesuatu yang barangkali juga menjelaskan mengapa salju turun sedikit terlambat tahun ini, sehingga menunda rencana kita melihat aurora, sekaligus menunda perayaan setahun kebersamaan kita.

Aku tahu kamu akan menyampaikan sesuatu yang penting. Sesuatu yang sudah bisa kutebak ke mana arahnya. Firasatku mengatakan demikian, karena belakangan ini, kalimat Mirah kembali terngiang-ngiang di telingaku. Sebuah kalimat yang dia sampaikan lewat telepon sekitar setahun lalu.

“Prinsipnya sederhana, Bi, kalau dia bisa meninggalkan orang lain demi kamu, maka besar kemungkinan dia bisa meninggalkan kamu demi orang yang lain lagi,” begitu kalimat Mirah waktu itu.

Kalimat yang dulu kuanggap sekadar angin lalu. Kalimat yang menutup obrolan sekaligus persahabatanku dengan Mirah. Satu-satunya kalimat yang keluar dari mulut Mirah sewaktu kubilang bahwa aku sudah resmi berpacaran dengan Moja. Aku ingat beberapa hari sebelum telepon itu, Mirah sudah mengungkapkan keberatannya secara terang-terangan atas kedekatanku dengan Moja.

“Kamu tahu kan dia sudah punya pacar?” tanya Mirah memastikan.

Aku mengangguk.

“Kamu juga tahu kan kalau mereka sudah hampir bertunangan?” tanyanya lagi.

Aku kembali mengangguk. Lalu akupun membela diri dengan kalimat yang sudah lama kupersiapkan. Bahwa aku tidak pernah berniat merusak hubungan Moja dan pacarnya. Bahwa ini semua terjadi di luar kendali kami. Bahwa kami tidak menyengaja untuk jatuh cinta. Semua mengalir begitu saja tanpa bisa kami kendalikan.

“Tapi mereka kan sudah putus sekarang,” tambahku.

“Iya, putus gara-gara kamu,” tukas Mirah ketus.

Aku hanya terdiam.

Sejak hari itu, hubunganku dengan Mirah tak pernah membaik. Mirah memang menentang hubunganku dengan Moja. Menurutnya, aku tak seharusnya menjalin hubungan dengan laki-laki yang meninggalkan kekasihnya untuk bersamaku. Dia berkali-kali mengingatkanku pada karma. Tapi aku seperti tuli. Tak sedikitpun menggubris omongan Mirah. Mirah bilang cinta itu tidak buta. Mirah bilang cinta juga butuh logika. Tapi aku bergeming. Setengahnya karena terlalu mencintai Moja. Setengahnya lagi karena entah mengapa aku ingin membuktikan bahwa pendapat Mirah itu salah.

“Bukankah pada akhirnya, cinta selalu menang?” pikirku saat itu.

Sebenarnya, aku sudah mengenal Moja sejak lama. Jumlah orang Indonesia di sini tak banyak, bisa dihitung dengan jari, jadi wajar kalau saling tahu satu sama lain. Tapi aku dan Moja tak bisa dibilang teman dekat. Aku hanya tahu beberapa informasi umum tentangnya, yang semua orang juga tahu. Seperti bahwa Moja sedang menempuh studi di Kajian Timur Tengah di universitas yang sama denganku tapi berbeda fakultas. Bahwa dia berasal dari sebuah kota di pesisir selatan Jawa. Atau bahwa dia sudah punya pacar yang tinggal di kota lain, sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan kereta dari sini. Aku sendiri pernah melihat Moja dan pacarnya itu di acara perkumpulan mahasiswa Indonesia beberapa waktu yang lalu. Mereka memang sudah dikenal sebagai pasangan di antara para mahasiswa Indonesia di sini. Tapi itu saja. Selebihnya aku tak tahu benar siapa Moja. Juga tak pernah merencanakan untuk jatuh hati padanya.

Keakrabanku dan Moja terjalin saat kami sama-sama mengikuti program kerja lapangan di Beirut, Lebanon. Fakultasku dan beberapa fakultas yang lain, termasuk fakultasnya Moja, memang memiliki program gabungan dengan Beirut sebagai fokus kajian. Program kerja lapangan ini adalah salah satu prasyarat wajib kelulusan kami. Harus kami tempuh sebelum melakukan penelitian untuk tugas akhir. Dan di program kerja lapangan itu, hanya aku dan Moja, dua orang Indonesia dari dua puluh mahasiswa yang ikut. Maka kamipun jadi dekat satu sama lain.

Awalnya hanya karena kami bosan berbicara dalam bahasa Inggris dan ingin mengobrol dalam bahasa Indonesia. Tapi lambat laun, hari-hari yang kami lalui bersama di Beirut berubah menjadi perkenalan yang intens. Meskipun sungguh, sebisa mungkin aku menjaga jarakku. Selama program kerja lapangan itu, tak pernah sekalipun aku pergi berdua saja dengan Moja. Aku selalu mengajak kawan yang lain. Kadang berempat. Atau minimal bertiga. Aku juga tak pernah membiarkan adanya sentuhan fisik atau apapun yang bisa menciptakan harapan atau kesan yang berbeda.

Meski memang, harus kuakui ada rasa nyaman yang muncul selama dua minggu itu. Terutama karena Moja terus menerus memperhatikanku. Sesekali menelponku. Mengirimiku pesan hampir setiap jam. Menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Menanyakan bagaimana keadaanku. Menanyakan ini atau itu yang sebenarnya tidak penting-penting amat. Setiap saat. Setiap hari. Sampai kami tak sadar bahwa kami telah terjatuh dalam lubang yang sama. Tapi, kami tak pernah benar-benar membicarakannya. Kami sadar diri. Ada tembok yang membatasi apapun yang kami rasakan untuk satu sama lain saat itu.

Moja tak pernah menyampaikan tentang perasaannya padaku. Aku pun tidak. Tidak hingga kami kembali dari Beirut. Tidak hingga seminggu setelah dia putus dari pacarnya. Dan tentu saja, aku tak kuasa menolak saat dia mengatakan bahwa dia jatuh cinta padaku dan ingin menjalin hubungan yang serius denganku. Karena seberapa kuatpun aku menolak, harus aku akui aku juga mencintai Moja. Maka meskipun dia baru seminggu putus dari pacarnya, aku langsung mengiyakan permintaannya itu. Lalu akupun langsung menyampaikan kabar ini pada Mirah, orang yang paling dekat denganku, tanpa menyadari bahwa kabar tersebut akan membuatnya begitu marah padaku.

Aku tahu Mirah punya trauma tersendiri dengan hubungan model begini. Atau dengan orang ketiga lebih tepatnya. Pacar adiknya membatalkan rencana pernikahan dengan tiba-tiba karena dilamar oleh laki-laki lain. Tapi menurutku, reaksi Mirah terlalu berlebihan. Aku bukan pacar adiknya. Dan Moja bukan laki-laki yang merebut pacar adiknya. Kisah kami pasti berbeda. Dan hei! Bukankah kami baru jadian setelah Moja dan pacarnya benar-benar putus? Mana bisa dibilang kami selingkuh? Meskipun untuk argumenku itu, Mirah tetap punya penjelasannya sendiri.

“Selingkuh itu sudah terjadi sejak dalam pikiran, Bi. Semua orang yang mikir, pasti tahu bahwa kalian sudah saling jatuh cinta sebelum Moja dan pacarnya putus. Persisnya ketika kalian menghabiskan dua minggu bersama-sama di Beirut,” sanggah Mirah.

Aku tak menanggapinya lebih jauh. Tak mau membiarkan omongan Mirah membuatku gusar. Toh setelah itu, hari-hariku berjalan seperti biasa. Bahkan, aku dan Moja tak perlu lagi diam-diam menjalin hubungan. Di awal-awal pacaran, kami berusaha sebisa mungkin tidak terlihat bersama-sama di kampus untuk menjaga perasaan semua orang. Tapi setelah beberapa minggu, kami menjalani hari selayaknya pasangan normal: makan berdua, bergandengan tangan, menonton film bersama, ke pantai bersama, dan seterusnya.

Aku tak peduli dengan serentetan cap yang dilekatkan padaku: selingkuhan, perusak hubungan orang, teman makan teman, orang ketiga dan seterusnya. Moja juga mendukungku sepenuhnya. Menurutnya, aku tak perlu mempedulikan pendapat orang lain. Menurutnya, omongan orang-orang itu sama sekali bukan urusanku. Fakta bahwa kami saling mencintai adalah satu-satunya hal yang kami jadikan pegangan. Dan kami yakin, cinta tidak pernah salah.

Sementara, tentu saja aku semakin menjauh dari Mirah. Diapun tak menunjukkan minat untuk berteman denganku lagi. Percakapan di telepon waktu itu menjadi usahaku yang terakhir untuk menghubunginya. Aku kadang tak habis pikir mengapa Mirah begitu marah padaku. Bukankah sesama teman seharusnya saling mendukung? Pernah kusampaikan sakit hatiku ini pada Moja. Dia menghiburku dengan bilang bahwa mungkin Mirah hanya tak mau kehilanganku sebagai sahabat saja. Mungkin dia butuh waktu. Tapi nyatanya, hingga sekarang kami tak pernah berhubungan lagi.

Hubunganku dan Moja sendiri berjalan baik-baik saja. Terus bertahan hingga bulan demi bulan. Tak banyak yang berubah. Tak ada orang ketiga. Dari pihakku ataupun dari pihak Moja. Kami masih terus mencintai dengan kadar yang sama seperti saat kami pulang dari Beirut. Jauh di dalam hati aku bangga karena bisa membuktikan pada semua orang, termasuk Mirah, bahwa cintaku dan Moja bukan untuk sementara.

Aku juga tak lagi mendengar orang-orang berbisik di belakang kami. Mereka tak lagi memberikan pandangan-pandangan menuduh karena menganggapku sebagai perebut kekasih orang. Semua orang sudah move on dengan kehidupan masing-masing. Bahkan mantan pacar Mojapun, kudengar sudah punya pacar baru. Semuanya berjalan dengan sempurna. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Setidaknya, begitulah menurutku.

Jujur, aku masih bisa mengingat masa-masa awal kebersamaan kita sejelas kemarin. Juga penolakan-penolakan dari beberapa orang yang justru makin menguatkan keyakinanku tentang cinta kita. Seperti yang pernah kubilang padamu, dari dulu aku selalu yakin bahwa hubungan ini akan berhasil. Atau setidaknya begitulah yang berusaha kuyakini: bahwa aku dan kamu memang ditakdirkan untuk bersama. Terlepas dari segala lika-liku dan drama yang kita temui, aku tidak pernah menyangka bahwa hubungan ini akan berakhir.

Tapi belakangan, sejak kamu mulai absen dari keseharianku, aku meragu. Dan kemarin sore, saat aku duduk menunggumu berteman secangkir kopi susu dan sepotong pie rasa apel, keraguanku berubah menjadi keyakinan. Karena tak seperti biasanya, kamu langsung duduk tanpa memesan apapun. Dan seolah tanpa beban, kamu menatap langsung ke dalam mataku sambil berkata: “Sorry Bi, aku jatuh cinta lagi.”

Saat itu, detik itu, aku hanya bisa diam. Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku hanya bisa memandang ke luar jendela dan menyadari bahwa di luar sana, salju belum juga turun. Sementara kalimat Mirah terus berdengung di telingaku, menusuk hatiku seperti sembilu:

Prinsipnya sederhana, Bi, kalau dia bisa meninggalkan orang lain demi kamu, maka besar kemungkinan dia bisa meninggalkan kamu demi orang yang lain lagi.

Leave a comment

The author

Hayu Hamemayu is a word bender, whose work has appeared in The Conversation Indonesia, The Jakarta Post, Media Indonesia, Kompas, Majalah Kartini, Indonesia Travel Magazine, and The Newbie Guide to Sweden among others.